Matius 5:7-8
Pdt. Rudiyanto,
MTh
Agama
itu berwatak ambivalen, mendua. Begitu kata para pengamat agama. Betapa tidak!
Di satu sisi agama mengilhami banyak orang untuk melakukan karya-karya luhur
kemanusiaan. Tentu kita tidak asing mendengar nama Mahatma Gandhi dan Bunda
Theresa.
Tapi
di sisi lain agama juga mendorong orang untuk melakukan percederaan terhadap
kemanusiaan. Karena agama, orang memandang pihak yang berbeda keyakinan
dengannya sebagai kafir – dan karena itu layak dilenyapkan dari muka bumi. Demi
agama orang berperang. Demi agama orang menghadirkan terror dalam hidup
sesamanya. Tak heran bila cendekiawan Lloyd Steffen mengatakan bahwa agama bisa
menjadi kekuatan pro-kehidupan, tapi bisa juga menjadi kekuatan anti-kehidupan.
Lantas
keberagamaan macam apakah yang semestinya dihayati para pengikut Yesus Kristus?
Tuhan kita pernah meringkaskan orientasi keagamaan yang sejati: mengasihi Allah
dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi, dan mengasihi sesama manusia seperti
diri sendiri. Dengan menegaskan itu, Tuhan kita sedang menantang kecenderungan
banyak orang untuk meninggikan Allah sedemikian rupa namun pada saat yang sama
mengabaikan bahkan meremehkan kemanusiaan. Dengan tepat Alm. Rama Mangunwijaya membahasakan
orientasi sejati itu dengan “memuliakan Allah, mengangkat sesama – khususnya
yang lemah, miskin, dan tertindas.
Dalam
Matius 5.7-8, Tuhan Yesus mengemukakan jiwa yang menghidupi orientasi beragama
yang sejati itu. Dia berkata-kata tentang “orang yang murah hati.” Yang
dimaksud adalah orang yang welas asih, yang, pertama, mampu turut
merasakan penderitaan orang lain dan karena itu berbuat sesuatu untuk
menolongnya. Kedua, orang yang welas asih juga mampu mengampuni orang lain,
bahkan membalas kejahatan orang lain dengan kebaikan.
Tuhan
Yesus juga berkata-kata tentang “orang yang suci hatinya.” Suci hati sangat
berbeda dengan sekadar suci secara lahiriah. Di tengah kegandrungan para
fanatikus agama pada hal-hal lahiriah semata, Tuhan Yesus mengajak orang untuk
beragama secara otentik. Asli. Itu berarti beragama dari hati. Beragama yang
menyadari bahwa seseorang senantiasa berada di hadapan Allah. Beragama yang
tulus, jujur. Beragama dengan motivasi dan orientasi yang benar di hadapan
Allah.
Di
tengah kancah kemajemukan di satu sisi dan sekularisme di sisi lain, kita
diajak untuk menghayati keberagamaan kita dengan jiwa welas asih dan ketulusan
hati. Terpujilah Allah! (RA_Ags12) ***